HUKUM PERJANJIAN

A. PENGERTIAN PERJANJIAN
Suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Sedangkan Perjanjian menurut Pasal 131 Kitab Undang-undang Hukum Perdata berbunyi: "Suatu perjanjian adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih." Pengertian perjanjian ini mengandung unsur :

 a. Perbuatan, Penggunaan kata “Perbuatan” pada perumusan tentang Perjanjian ini lebih tepat jika diganti dengan kata perbuatan hukum atau tindakan hukum, karena perbuatan tersebut membawa akibat hukum bagi para pihak yang memperjanjikan; 

b. Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih, Untuk adanya suatu perjanjian, paling sedikit harus ada dua pihak yang saling berhadap-hadapan dan saling memberikan pernyataan yang cocok/pas satu sama lain. Pihak tersebut adalah orang atau badan hukum. 

c. Mengikatkan dirinya, Di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain. Dalam perjanjian ini orang terikat kepada akibat hokum yang muncul karena kehendaknya sendiri. 

B. PERBEDAAN PERJANJIAN DAN PERIKATAN 
Pada prinsipnya perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak, dimana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak lain dan yang lain berkewajiban memenuhi tuntutan tersebut. Sedangkan perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain, atau dimana dua pihak saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Berangkat dari definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa suatu perjanjian akan menimbulkan perikatan dan perjanjian adalah sumber perikatan.

 C. ASAS DALAM PERJANJIAN 
1.Asas Terbuka Hukum Perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar UU,  ketertiban umum dan kesusilaan. Sistem terbuka, disimpulkan dalam pasal 1338 (1) : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai UU bagi mereka yang membuatnya” 

 2.Asas Konsensualitas Lahir dari kata consensus yang berarti kesepakatan. Pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan, atau diantara pihak yang bersangkutan tercapai suatu kesesuaian kehendak. Asas konsensualitas lazim disimpulkan dalam pasal 1320 KUH Perdata. 
Teori Pernyataan a. perjanjian lahir sejak para pihak mengeluarkan kehendaknya secara lisan. b.perjanjian lahir sejak para pihak mengeluarkan kehendaknya secara lisan dan tertulis. Sepakat yang diperlukan untuk melahirkan perjanjian dianggap telah tercapai, apabila pernyataan yang dikeluarkan oleh suatu pihak diterima oleh pihak lain.
 Teori Penawaran bahwa perjanjian lahir pada detik diterimanya suatu penawaran (offerte). Apabila seseorang melakukan penawaran dan penawaran tersebut diterima oleh orang lain secara tertulis maka perjanjian harus dianggap lahir pada saat pihak yang melakukan penawaran menerima jawaban secara tertulis dari pihak lawannya. 

3. Asas kepribadian Suatu perjanjian diatur dalam pasal 1315 KUHPerdata, yang menjelaskan bahwa tidak ada seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji, melainkan untuk dirinya sendiri. 

4.   Suatu perjanjian hanya meletakkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban antara para pihak yang membuatnya dan tidak mengikat orang lain (pihak ketiga). 


D. SYARAT SAHNYA PERJANJIAN 
Agar suatu Perjanjian dapat menjadi sah dan mengikat para pihak, perjanjian harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1320 BW yaitu : 
            1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; Kata “sepakat” tidak boleh disebabkan adanya kekhilafan                mengenai hakekat barang yang menjadi pokok persetujuan atau kekhilafan mengenai diri pihak                          lawannya dalam persetujuan yang dibuat terutama mengingat dirinya orang tersebut; adanya paksaan                dimana seseorang melakukan perbuatan karena takut ancaman (Pasal 1324 BW); adanya penipuan                    yang tidak hanya mengenai kebohongan tetapi juga adanya tipu muslihat (Pasal 1328 BW). Terhadap                  perjanjian yang dibuat atas dasar “sepakat” berdasarkan alasan-alasan tersebut, dapat diajukan                          pembatalan. 
            2. cakap untuk membuat perikatan; Para pihak mampu membuat suatu perjanjian. Kata mampu dalam                   hal ini adalah bahwa para pihak telah dewasa, tidak dibawah pengawasan karena prerilaku yang tidak                 stabil dan bukan orang-orang yang dalam undang-undang dilarang membuat suatu perjanjian. Pasal                    1330 BW menentukan yang tidak cakap untuk membuat perikatan : 

                        a. Orang-orang yang belum dewasa 
                        b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan Akibat dari perjanjian yang dibuat oleh pihak yang                             tidak cakap adalah dapat dibatalkan oleh hakim atas permintaan. 
          3. Suatu hal tertentu; Perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan, sepeerti: Jenis barang,               jumlah, kapan dilaksanakan, dan lain-lain. Jika tidak, maka perjanjian itu batal demi hukum. Pasal                     1332 BW menentukan hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi obyek                     perjanjian, dan berdasarkan Pasal 1334 BW barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat               menjadi obyek perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara tegas. 
          4. suatu sebab atau causa yang halal. Sahnya causa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat                           perjanjian dibuat. Perjanjian tanpa causa yang halal adalah batal demi hukum, kecuali ditentukan lain                 oleh undang-undang. Syarat pertama dan kedua menyangkut subyek, sedangkan syarat ketiga dan                     keempat mengenai obyek. Terdapatnya cacat kehendak (keliru, paksaan, penipuan) atau tidak cakap                 untuk membuat perikatan, mengenai subyek mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan. Sementara                   apabila syarat ketiga dan keempat mengenai obyek tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum.                    Misal: Dalam melakukan perjanjian pengadaan barang, antara TPK (Tim Pelaksana Kegiatan)                            dengan suplier, maka harus memenuhi unsur-unsur: - TPK sepakat untuk membeli sejumlah barang                    dengan biaya tertentu dan supplier sepakat untuk menyuplai barang dengan pembayaran tersebut.                      Tidak ada unsur paksaan terhadap kedua belah pihak. - TPK dan supplier telah dewasa, tidak                            dalam pengawasan atau karena perundang-undangan, tidak dilarang untuk membuat perjanjian. - 

                   Barang yang akan dibeli/disuplai jelas, apa, berapa dan bagaimana. - Tujuan perjanjian jual beli                          tidak dimaksudkan untuk rekayasa atau untuk kejahatan tertentu (contoh: TPK dengan sengaja                          bersepakat dengan supplier untuk membuat kwitansi dimana nilai harga lebih besar dari harga                            sesungguhnya). Dari uraian di atas, timbul satu pertanyaan, bagaimana jika salah satu syarat di                        atas tidak Terpenuhi ? Ada dua akibat yang dapat terjadi jika suatu perjanjian tidak memenuhi                            syarat di atas. Pasal 1331 (1) KUH Perdata: Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku                            sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Apabila perjanjian yang dilakukan                                obyek/perihalnya tidak ada atau tidak didasari pada itikad yang baik, maka dengan sendirinya                            perjanjian tersebut batal demi hukum. Dalam kondisi ini perjanjian dianggap tidak pernah ada, dan                      lebih lanjut para pihak tidak memiliki dasar penuntutan di depan hakim. Sedangkan untuk perjanjian                    yang tidak memenuhi unsur subyektif seperti perjanjian dibawah paksaan dan atau terdapat pihak                      dibawah umur atau dibawah pengawasan, maka perjanjian ini dapat dimintakan pembatalan (kepada                   hakim) oleh pihak yang tidak mampu termasuk wali atau pengampunya. 
   
E. TERJADINYA WAN PRESTASI 
Satu persoalan terkait dengan hukum perjanjian adalah bagaimana jika salah satu pihak tidak melaksanakan perjanjian atau wan prestasi ? Ada 4 akibat yang dapat terjadi jika salah satu pihak melakukan wan prestasi yaitu: 
        1. Membayar kerugian yang diderita oleh pihak lain berupa ganti-rugi 
        2. Dilakukan pembatalan perjanjian 
        3. Peralihan resiko 
        4. Membayar biaya perkara jika sampai berperkara dimuka hakim Mencari pengakuan akan kelalaian atau               wan prestasi tidaklah mudah. Sehingga apabila yang bersangkutan menyangkal telah dilakukannya wan             prestasi dapat dilakukan pembuktian di depan pengadilan. 

F. AKIBAT PERJANJIAN

Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa semua kontrak (perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dari Pasal ini dapat disimpulkan adanya asas kebebasan berkontrak, akan tetapi kebebasan ini dibatasi oleh hukum yang sifatnya memaksa, sehingga para pihak yang membuat perjanjian harus menaati hukum yang sifatnya memaksa. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang. Suatu perjanjian tidak diperbolehkan membawa kerugian kepada pihak ketiga. 

G. BERAKHIRNYA PERJANJIAN 
Perjanjian berakhir karena : 
     a. ditentukan oleh para pihak berlaku untuk waktu tertentu; 
     b. undang-undang menentukan batas berlakunya perjanjian; 
     c. para pihak atau undang-undang menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa tertentu maka persetujuan akan hapus; Peristiwa tertentu yang dimaksud adalah keadaan memaksa (overmacht) yang diatur dalam Pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata. Keadaan memaksa adalah suatu keadaan dimana debitur tidak dapat melakukan prestasinya kepada kreditur yang disebabkan adanya kejadian yang berada di luar kekuasaannya, misalnya karena adanya gempa bumi, banjir, lahar dan lain-lain. Keadaan memaksa dapat dibagi menjadi dua macam yaitu : ·         keadaan memaksa absolut adalah suatu keadaan di mana debitur sama sekali tidak dapat memenuhi perutangannya kepada kreditur, oleh karena adanya gempa bumi, banjir bandang, dan adanya lahar (force majeur). 


Akibat keadaan memaksa absolut (force majeur) : 
      a. debitur tidak perlu membayar ganti rugi (Pasal 1244 KUH Perdata); 
      b. kreditur tidak berhak atas pemenuhan prestasi, tetapi sekaligus demi hukum bebas dari kewajibannya                 untuk menyerahkan kontra prestasi, kecuali untuk yang disebut dalam Pasal 1460 KUH Perdata. ·                 c. keadaan memaksa yang relatif adalah suatu keadaan yang menyebabkan debitur masih mungkin untuk               melaksanakan prestasinya, tetapi pelaksanaan prestasi itu harus dilakukan dengan memberikan korban             besar yang tidak seimbang atau menggunakan kekuatan jiwa yang di luar kemampuan manusia atau                   kemungkinan tertimpa bahaya kerugian yang sangat besar. Keadaan memaksa ini tidak mengakibatkan             beban resiko apapun, hanya masalah waktu pelaksanaan hak dan kewajiban kreditur dan debitur. 
     d.  pernyataan menghentikan persetujuan (opzegging) yang dapat dilakukan oleh kedua belah pihak atau oleh           salah satu pihak pada perjanjian yang bersifat sementara misalnya perjanjian kerja; 
     e. putusan hakim; 
     f.  tujuan perjanjian telah tercapai;
g. dengan persetujuan para pihak (herroeping).

Contoh surat perjanjian Kerja


SURAT PERJANJIAN
No. I/SP/PT.NA/III/2013
.......................................
Kami yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : FRISCHA LAMRIA
No. KTP : xxxx 2321 3587
Jabatan : Manajer
Dalam hal ini bertindak dan atas nama PT. NILO ABADI selanjutnya disebut sebagai PIHAK PERTAMA.
Nama : MILA TINA
No. KTP : xxxx xxxx xxxx
Jabatan : -
Dalam hal ini bertindak dan atas nama diri sendiri yang selanjutnya disebut sebagai PIHAK KEDUA.
PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA telah melakukan kesepakatan perjanjian berupa PERJANJIAN KERJA dengan ketentuan sebagai berikut :
Pasal 1
Jenis Pekerjaan
PIHAK PERTAMA akan memberikan pekerjaan kepada PIHAK KEDUA berupa penggarapan konstruksi baja sebuah gudang dengan ukuran 20 m2 x 18 m2.
Pasal 2
Mekanisme
PIHAK PERTAMA akan menyediakan semua matrial yang diperlukan untuk melakukan penggarapan konstruksi baja hingga selesai.
Pasal 3
Pembayaran
PIHAK PERTAMA akan memberikan upah kepada PIHAK KEDUA sebesar Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dengan cara pembayaran dilakukan dalam dua tahap, yaitu:
Pembayaran pertama dilakukan ketika progres pekerjaan sudah mencapai volume 30 %, dan pembayaran kedua akan dilakukan maksimal tiga hari setelah pekerjaan selesai.
Pasal 4
Ketentuan
PIHAK PERTAMA berhak untuk tidak melakukan pembayaran kepada PIHAK KEDUA apabila PIHAK KEDUA tidak menyelesaikan penggarapan konstruksi baja ruangan berukuran 20 m2 x 18 m2 hingga selesai.
Demikian surat perjanjian ini kami buat tanpa ada paksaaan dari pihak manapun dan atas keinginan kedua belah pihak sendiri.

Bogor, 16 Juli 2013
Yang membuat perjanjian,

PIHAK PERTAMA                                                                  PIHAK KEDUA
PT NILO ABADI
                                           
FRISCHA LAMRIA                                                                    MILA TINA


sumber:
http://magnificencelife.blogspot.com/2012/12/makalah-hukum-perjanjian.html
http://asa-2009.blogspot.com/2012/02/hukum-perjanjian.html

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Akuntansi Internasional

Subyek Hukum, Obyek Hukum dan Hak Jaminan

ANALISIS LAPORAN KEUANGAN MULTINASIONAL