HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL
A.
Definisi Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI)
HAKI merupakan hak eksklusif yang diberikan negara kepada seseorang, sekelompok
orang, maupun lembaga untuk memegang kuasa dalam menggunakan dan mendapatkan
manfaat dari kekayaan intelektual yang dimiliki atau diciptakan. Istilah HAKI
merupakan terjemahan dari Intellectual Property Right (IPR),
sebagaimana diatur dalam undang-undang No. 7 Tahun 1994 tentang pengesahan WTO
(Agreement Establishing The World Trade Organization). Pengertian Intellectual
Property Right sendiri adalah pemahaman mengenai hak atas kekayaan
yang timbul dari kemampuan intelektual manusia, yang mempunyai hubungan dengan
hak seseorang secara pribadi yaitu hak asasi manusia (human right).
Istilah
HAKI sebelumnya bernama Hak Milik Intelektual yang selama ini digunakan. Menurut
Bambang Kesowo, istilah Hak Milik Intelektual belum menggambarkan unsur-unsur
pokok yang membentuk pengertian Intellectual Property Right, yaitu
hak kekayaan dari kemampuan Intelektual. Istilah Hak Milik Intelektual (HMI)
masih banyak digunakan karena dianggap logis untuk memilih langkah yang
konsisten dalam kerangka berpikir yuridis normatif. Istilah HMI ini bersumber
pada konsepsi Hak Milik Kebendaan yang tercantum pada KUH Perdata Pasal 499,
501, 502, 503, 504.
B.
Sejarah HAKI
Undang-undang mengenai HAKI pertama kali ada di Venice, Italia yang menyangkut
masalah paten pada tahun 1470. Penemu-penemu yang muncul dalam kurun waktu
tersebut dan mempunyai hak monopoli atas penemuan mereka diantaranya adalah
Caxton, Galileo dan Guttenberg. Hukum-hukum tentang paten tersebut kemudian
diadopsi oleh kerajaan Inggris tahun 1500-an dan kemudian lahir hukum mengenai
paten pertama di Inggris yaitu Statute of Monopolies (1623).
Amerika Serikat baru mempunyai undang-undang paten tahun 1791. Upaya harmonisasi
dalam bidang HAKI pertama kali terjadi tahun 1883 dengan lahirnya Paris
Convention untuk masalah paten, merek dagang dan desain. Kemudian Berne
Convention 1886 untuk masalah copyright atau hak cipta. Tujuan dari
konvensi-konvensi tersebut antara lain standarisasi, pembahasan masalah baru,
tukar menukar informasi, perlindungan mimimum dan prosedur mendapatkan hak.
Kedua konvensi itu kemudian membentuk biro administratif bernama The
United International Bureau For The Protection of Intellectual Property yang
kemudian dikenal dengan nama World Intellectual Property Organisation (WIPO).
WIPO kemudian menjadi badan administratif khusus di bawah PBB yang menangani
masalah HAKI anggota PBB. Sebagai tambahan pada tahun 2001 WIPO telah
menetapkan tanggal 26 April sebagai Hari Hak Kekayaan Intelektual Sedunia.
Setiap tahun, negara-negara anggota WIPO termasuk Indonesia menyelenggarakan
beragam kegiatan dalam rangka memeriahkan Hari HAKI Sedunia.
Di
Indonesia, HAKI mulai populer memasuki tahun 2000 – sekarang. Tetapi ketika
kepopulerannya itu sudah mencapa puncaknya, grafiknya menurun. Ketika mengalami
penurunan, muncul lah hukum siber (cyber), yang ternyata perkembangan
dari HAKI itu sendiri. Jadi, HAKI akan terbawa terus seiring dengan ilmu-ilmu
yang baru. seiring dengan perkembangan teknologi informasi yang tidak pernah
berhenti berinovasi. Peraturan perundangan HAKI di Indonesia dimulai sejak masa
penjajahan Belanda dengan diundangkannya: Octrooi Wet No. 136; Staatsblad 1911
No. 313; Industrieel Eigendom Kolonien 1912; dan Auterswet 1912 Staatsblad 1912
No. 600. Setelah Indonesia merdeka, Menteri Kehakiman RI mengeluarkan
pengumuman No. JS 5/41 tanggal 12 Agustus 1953 dan No. JG 1/2/17 tanggal 29
Agustus 1953 tentang Pendaftaran Sementara Paten.
Pada tahun 1961, Pemerintah RI
mengesahkan Undang-undang No. 21 Tahun 1961 tentang Merek. Kemudian pada tahun
1982, Pemerintah juga mengundangkan Undang-undang No. 6 Tahun 1982 tentang Hak
Cipta. Di bidang paten, Pemerintah mengundangkan Undang-undang No. 6 Tahun 1989
tentang Paten yang mulai efektif berlaku tahun 1991. Di tahun 1992, Pemerintah
mengganti Undang-undang No. 21 Tahun 1961 tentang Merek dengan Undang-undang
No. 19 Tahun 1992 tentang Merek.
C. Fungsi
HAKI
HKI sebagai Sarana Perlindungan
Penemuan dan kreasi tersebutlah yang nantinya
menjadi sumber dari kehidupan manusia, karena dengan penemuan-penemuan dan
hasil dari kreativitas itulah kehidupan manusia semakin menjadi berkembang
sampai seperti sekarang ini. Oleh karenanya negara sebagai institusi tertinggi
berkewajiban untuk melindungi penemuan-penemuan tersebut unbeserta penemunya sebagai bentuk penghormatan dan
sebagai wujud rasa terimakasih.
Paling tidak itulah ilustrasi mengapa penemuan
dan hasil kreativitas manusia perlu mendapat perlindungan, yang mana kemudian
konsep perlindungan tersebut di tuangkan dalam konsep Hak Kekayaan Intelektual
(HKI). Sebuah konsep yang mulai populer di awal abad 19-an, dan yang sampai
sekarang menjadi sebuah konsep yang sudah dianut oleh sebagian besar negara
dunia melalui penandatangan Trade of Related Intellectual Property Rights
(TRIPs) Agreement.
HKI sebagai sebuah sarana untuk melindungi
pencipta dan ciptaan sudah mengakar kuat di berbagai negara dunia. Terlebih di
beberapa negara besar dan maju seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa
Barat. Di negara-negara besar inilah konsep HKI menjadi berkembang dan seolah
sudah mapan. Karena besar dan mapan di negara-negara maju, konsep HKI yang pada
awalnya ditujukan untuk melindungi pencipta dan ciptaannya sekarang berubah
kesan menjadi satu sistem yang seolah melupakan fungsi sosialnya. Hal ini bisa
dilihat bagaiman sistem HKI ini melindungi dengan ketat hak ekonomi dan hak
moral pencipta sementara di sisi lain tidak memperhatikan costumer yang merasa
“tercekik” dengan royalti yang harus dikeluarkan untuk ciptaan tersebut padahal
costumer juga sangat membantu pencipta agar bsia berkembang. Pencipta tidak
bisa dipisahkan dengan costumer, begitu juga sebaliknya.
Konsep perlindungan yang diusung dalam sistem
HKI ini seolah menjadikan HKI sebagai satu sistem monopoli yang kapitalis,
individualis, dan hanya mementingkan kepentingan pencipta atau penemu saja,
hampir tidak terlihat didalamnya peran dan fungsi soial. Itulah kenapa tidak
sedikit masyarakat yang mencibir konsep perlindungan HKI. Sebagai satu contoh
akibat dari cibiran dan rasa tidak suka dengan monopoli yang diciptakan oleh
HKI, maka sebagian orang kemudian memunculkan copyleft.
D. Sifat
HKI
Beberapa
sifat yang dimilki dalam konsep HKI, diantaranya seperti:
1. Bahwa pada prinsipnya HKI mempunyai
jangka waktu tertentu atau terbatas;
Artinya setelah habis masa perlindungan ciptaan atau penemuan yang dihasilkan oleh seseorang dan atau
kelompok, maka akan menjadi milik
umum, tetapi ada pula yang setelah habis masa perlindungannya dapat diperpanjang lagi,
misalnya untuk hak merek.
2. HKI juga mempunyai sifat eksklusif
dan mutlak; Maksudnya bahwa hak hasil
temuan atau ciptaan yang dihasilkan oleh seseorang maupun kelompok tersebut, dapat dipertahankan
apabila ada pihak lain yang melakukan
peniruan maupun penjiplakan terhadap hasil karyanya. Pemilik hak dapat menuntut terhadap pelanggaran yang
dilakukan oleh siapapun dan pemilik atau pemegang HKI yang syah tersebut
mempunyai hak monopoli, yaitu pemilik atau pemegang hak dapat mempergunakan
haknya untuk melarang siapapun yang akan memproduksi tanpa memperoleh
persetujuan dari pemiliknya
E.
Macam-macam HAKI
Terdapat macam-macam HAKI yang ada di dunia ini, khususnya di Indonesia. Pada
Prinsipnya HAKI dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu:
1)
Hak Cipta
·
Sejarah Hak Cipta
Pada
jaman dahulu tahun 600 SM, seseorang dari Yunani bernama Peh Riad menemukan 2
tanda baca yaitu titik (.) dan koma (,). Anaknya bernama Apullus menjadi
pewarisnya dan pindah ke Romawi. Pemerintah Romawi memberikan Pengakuan,
Perlindungan dan Jaminan terhadap karya cipta ayah nya itu. Untuk setiap
penggunaan, penggandaan dan pengumuman ats penemuan Peh Riad itu, Apullus
memperoleh penghargaan dan jaminan sebagai pencerminan pengakuan hak tersebut.
Apullus ternyata orang yang bijaksana, dia tidak menggunakan seluruh honorarium
yang diterimany. Honor titik (.) digunakan untuk keperluan sendiri sebagai ahli
waris, sedangkan honor koma (,) dikembalikan ke pemerintah Romawi sebagai tanda
terima kasih atas penghargaan dan pengakuan terhadap hak cipta tersebut.
·
Pengertian Hak Cipta
Hak
cipta (lambang internasional: ©)
1.
Pengertian hak cipta
menurut Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002:
Hak
cipta adalah “hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau
memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin
untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku” (pasal 1 butir 1).
2.
Pengertian hak cipta menurut Pasal 2 UUHC:
Hak cipta adalah hak khusus
bagi pencipta maupun penerima hak untuk mengumumkan atau
memperbanyak ciptaannya maupun memberi ijin
untuk iti dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Pencipta adalah seorang atau beberapa
orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya lahir suatu ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran,
imajinasi, kecekatan, keterampilan
atau keahlian yang dituangkan dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi.
2)
Hak Kekayaan Industri
Hak
kekayaan industri terdiri dari:
·
Paten (patent)
Paten
merupakan hak khusus yang diberikan negara kepada penemu atas hasil penemuannya
di bidang teknologi, untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri penemuannya
tersebut atau memberikan pesetujuannya kepada orang lain untuk melaksanakannya
1.
Merk (Trademark)
Merk
adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan
warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan
dipergunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan jasa.
2.
Rancangan (Industrial Design)
Rancangan
dapat berupa rancangan produk industri, rancangan industri. Rancanangan
industri adalah suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi, garis
atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga
dimensi yang mengandung nilai estetika dan dapat diwujudkan dalam pola tiga
dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk,
barang atau komoditi industri dan kerajinan tangan.
3. Informasi Rahasia (Trade
Secret)
Informasi
rahasia adalah informasi di bidang teknologi atau bisnis yang tidak diketahui
oleh umum, mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha dan
dijaga kerahasiannya oleh pemiliknya.
4. Indikasi Geografi (Geographical
Indications)
Indikasi
geografi adalah tanda yang menunjukkn asal suatu barang yang karena faktor
geografis (faktor alm atau faktor manusia dan kombinasi dari keduanya telah
memberikan ciri dri kualitas tertentu dari barang yang dihasilkan).
5. Denah Rangkaian (Circuit Layout)
Denah
rangkaian yaitu peta (plan) yang memperlihatkan letak dan interkoneksi dari
rangkaian komponen terpadu (integrated circuit), unsur yang berkemampun
mengolah masukan arus listrik menjadi khas dalam arti arus, tegangan,
frekuensi, serta prmeter fisik linnya.
6.
Perlindungan Varietas Tanaman (PVT)
Perlindungan
varietas tanamn adalah hak khusus yang diberikan negara kepada pemulia tanaman
dan atau pemegang PVT atas varietas tanaman yang dihasilkannya untuk selama
kurun waktu tertentu menggunakan sendiri varietas tersebut atau memberikan
persetujun kepada orang atau badan hukum lain untuk menggunakannya.
Kekayaan
intelektual yang dihasilkan oleh masyarakat asli tradisional ini menjadi
menarik karena rejim ini masih belum terakomodasi oleh pengaturan mengenai hak
kekayaan intelektual, khususnya dalam lingkup intenasional. Pengaturan hak
kekayaan intelektual dalam lingkup internasional sebagaimana terdapat dalam Trade
Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs), misalnya
hingga saat ini belum mengakomodasi kekayaanintelektual masyarakat
asli/tradisional. Adanya fenomena tersebut, maka dapat dikatakan bahwa
perlindungan hukum terhadap kekayaan intelektual yang dihasilkan masyarakat
asli tradisional hingga saat ini masih lemah. Joseph E. Stiglitz (2007), dalam
Making Globalization Work, mengatakan bahwa hak kekayaan intelektual memiliki
perbedaan mendasar dengan hak penguasaan lainnya.1 Jika rambu hak penguasaan
lainnya adalah tidak memonopoli, mengurangi efisiensi ekonomi, dan mengancam
kesejahteraan masyarakat, maka hak kekayaan intelektual pada dasarnya
menciptakan monopoli. Kekuatan monopoli menciptakan persewaan monopoli (laba
yang berlebih), dan laba inilah yang seharusnya digunakan untuk melakukan
penelitian. Ketidakefisienan yang berkaitan dengan kekuatan monopoli dalam
memanfaatkan pengetahuan sangatlah penting, karena ilmu pengetahuan dalam
ekonomi disebut komoditas umum. Joseph E. Stiglitz dalam Andri TK, Nasib HAKI
Tradisional Kita, Hukum kekayaan intelektual bersifat asing bagi kepercayaan
yang mendasari hukum adat, sehingga kemungkinan besar tidak akan berpengaruh
atau kalaupun ada pengaruhnya kecil di kebanyakan wilayah di Indonesia. Hal
inilah yang barangkali menjadi halangan terbesar yang dapat membantu melegitimasi.
Ganjar dalam Andri TK, Ibid, 2007 mengatakan penolakan terhadap kekayaan
intelektual di Indonesia yaitu konsep yang sudah lamadiakui kebanyakan
masyarakat Indonesia sesuai dengan hukum adat. Prinsip hukum adat yang
universal dan mungkin yang paling fundamental adalah bahwa hukum adat lebih
mementingkan masyarakat dibandingkan individu. Dikatakan bahwa pemegang hak
harus dapat membenarkan penggunaan hak itu sesuai dengan fungsi hak di dalam
suatu masyarakat.
Kepopuleran konsep harta komunal
mengakibatkan HAKI bergaya barat tidak dimengerti oleh kebanyakan masyarakat
desa di Indonesia. Sangat mungkin bahwa HAKI yang individualistis akan
disalahtafsirkan atau diabaikan karena tidak dianggap relevan. Usaha‐usaha untuk memperkenalkan
hak individu bergaya barat yang disetujui dan diterapkan secara resmi oleh
negara, tetapi sekaligus bertentangan dengan hukum adat seringkali gagal
mempengaruhi perilaku masyarakat tradisional. Sangat mungkin bahwa masyarakat
di tempat terpencil tidak akan mencari perlindungan untuk kekayaan intelektual
dan akan mengabaikan hak kekayaan intelektual orang lain dengan alasan yang
sama. Di tengah upaya Indonesia berusaha melindungi kekayaan tradisionalnya,
negara-negara maju justru menghendaki agar pengetahuan tradisional, ekspresi
budaya, dan sumber daya genetik itu dibuka sebagai public property atau public
domain, bukan sesuatu yang harus dilindungi secara internasional dalam bentuk
hukum yang mengikat.
F. Konsep HAKI
Setiap hak yang termasuk kekayaan intelektual memiliki konsep yang bernama
konsep HAKI. Berikut ini merupakan konsep HAKI:
·
Haki kewenangan, kekuasaan untuk berbuat
sesuatu (UU & wewenang menurut
hukum).
·
Kekayaan hal-hal yang bersifat ciri yang
menjadi milik orang.
·
Kekayaan intelektual kekayaan yang timbul
dari kemampuan intelektual manusia
(karya di bidang teknologi, ilmu pengetahuan, seni dan sastra) – dihasilkan atas kemampuan intelektual
pemikiran, daya cipta dan rasa yang
memerlukan curahan tenaga, waktu dan biaya untuk memperoleh “produk” baru dengan landasan kegiatan
penelitian atau yang sejenis2.
G.
Dasar HAKI Karya Intelektual
Berbagai
karya intelektual memiliki dasar-dasar tersendiri. Berikut ini merupakan dasar
dari HAKI Karya Intelektual:
·
Hasil suatu pemikiran dan kecerdasan manusia,
yang dapat berbentuk penemuan,
desain, seni, karya tulis atau penerapan praktis suatu ide.
·
Dapat mengandung nilai ekonomis, dan oleh
karena itu dianggap suatu aset
komersial.
H.
Bentuk (Karya) Kekayaan Intelektual
Terdapat berbagai macam bentuk karya intelektual yang dapat digolongkan ke
dalam bentuk HAKI. Berikut ini merupakan bentuk (karya) kekayaan intelektual:
·
Penemuan
·
Desain Produk
·
Literatur, Seni, Pengetahuan, Software
·
Nama dan Merek Usaha
·
Know-How & Informasi Rahasia
·
Desain Tata Letak IC
·
Varietas Baru Tanaman
I.
Tujuan Penerapan HAKI
Setiap hak yang digolongkan ke dalam HAKI harus mendapat kekuatan hukum atas
karya atau ciptannya. Untuk itu diperlukan tujuan penerapan HAKI. Berikut ini
merupakan tujuan penerapan HAKI:
1.
Antisipasi kemungkinan melanggar HAKI milik
pihak lain
2.
Meningkatkan daya kompetisi dan pangsa pasar
dalam komersialisasi kekayaan
intelektual
3.
Dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan
dalam penentuan strategi penelitian,
usaha dan industri di Indonesia.
J.
Pengaturan HAKI di Indonesia
Pengaturan HAKI secara pokok (dalam
UU) dapat dikatakan telah lengkap dan memadai. Dikatakan lengkap, karena
menjangkau ke-7 jenis HAKI yang telah disebutkan di atas. Dikatakan memadai,
karena dalam kaitannya dengan kondisi dan kebutuhan nasional, dengan beberapa
catatan, tingkat pengaturan tersebut secara substantif setidaknya telah
memenuhi syarat minimal yang ditentukan pada Perjanjian Internasional yang
pokok di bidang HAKI.
Sejalan dengan masuknya Indonesia
sebagi anggota WTO/TRIP’s dan diratifikasinya beberapa konvensi internasional
di bidang HAKI sebagaimana dijelaskan pada pengaturan HAKI di internasional
tersebut di atas, maka Indonesia harus menyelaraskan peraturan
perundang-undangan di bidang HAKI. Untuk itu, pada tahun 1997 Pemerintah
merevisi kembali beberapa peraturan perundangan di bidang HAKI, dengan
mengundangkan:
·
Undang-undang No. 12 Tahun 1997 tentang
Perubahan atas Undang- undang No.
6 Tahun 1982 sebagaimana telah diubah dengan Undang- undang No. 7 Tahun 1987 tentang Hak Cipta
·
Undang-undang No. 13 Tahun 1997 tentang
Perubahan atas Undang- undang No.
6 Tahun 1989 tentang Paten
·
Undang-undang No. 14 Tahun 1997 tentang
Perubahan atas Undang- undang No.
19 Tahun 1992 tentang Merek
Selain
ketiga undang-undang tersebut di atas, undang-undang HAKI yang menyangkut ke-7
HAKI antara lain:
1)
Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
2)
Undang-undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten
3)
Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merk
4)
Undang-undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang
5)
Undang-undang No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri
6)
Undang-undang No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu
7)
Undang-undang No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman
Dengan pertimbangan masih perlu
dilakukan penyempurnaan terhadap undang-undang tentang hak cipta, paten, dan
merek yang diundangkan tahun 1997, maka ketiga undang-undang tersebut telah
direvisi kembali pada tahun 2001. Selanjutnya telah diundangkan:
·
Undang-undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten
·
Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek
(khusus mengenai revisi UU tentang
Hak Cipta saat ini masih dalam proses pembahasan di DPR)
Ciptaan
yang dapat dilindungi oleh UU Hak Cipta, diantaranya sebagai berikut:
·
Buku, program komputer, pamflet, perwajahan
(lay out) karya tulis yang diterbitkan
dan semua hasil karya tulis lain.
·
Ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan lain yang
diwujudkan dengan cara diucapkan.
·
Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan
pendidikan dan ilmu pengetahuan.
·
Karya Seni, yaitu:
1.
Seni rupa dengan segala bentuk seperti seni
lukis, gambar, seni ukir, seni
kaligrafi, seni pahat,seni patung, kolase dan seni terapan, seni batik, fotografi.
2.
Ciptaan lagu atau musik dengan atau tanpa
teks.
3.
Drama, drama musikal, tari, koreografi,
pewayangan, pantomim, sinematografi.
4.
Arsitektur, Peta.
5.
Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai,
database dan karya lain dari hasil
pengalihwujudan.
Hukum Kekayaan Intelektual (HAKI) di
bidang hak cipta memberikan sanksi jika terjadi pelanggaran terhadap tindak
pidana di bidang hak cipta yaitu pidana penjara dan/atau denda, hal ini sesuai
dengan ketentuan pidana dan/atau denda dalam UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak
Cipta sebagai berikut:
1.
Pasal 72 ayat (1) : Barangsiapa dengan
sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara masing-masing paling singkat
1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama
7 (tujuh) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).
2.
Pasal 72 ayat (2) : Barangsiapa dengan
sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan,
atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima
ratus juta rupiah).
3.
Pasal 72 ayat (3) : Barangsiapa dengan
sengaja dan tanpa hak memperbanyak
penggunaan untuk kepentingan komersial suatu program komputer, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling banyak
Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
4.
Pasal 72 ayat (4) : Barangsiapa melanggar
Pasal 17 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar
rupiah).
5.
Pasal 72 ayat (5) : Barangsiapa dengan
sengaja melanggar Pasal 19, Pasal 20,
atau Pasal 49 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
150.000.000,- (seratus lima puluh
juta rupiah).
6.
Pasal 72 ayat (6) : Barangsiapa dengan
sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal
24 atau Pasal 55 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
150.000.000,- (seratus lima puluh juta
rupiah).
7.
Pasal 72 ayat (7) : Barangsiapa dengan
sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal
25 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah).
8.
Pasal 72 ayat (8) : Barangsiapa dengan
sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal
27 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah).
9.
Pasal 72 ayat (9) : Barangsiapa dengan
sengaja melanggar Pasal 28 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,-
(seratus lima puluh juta rupiah).
10. Pasal
73 ayat (1) : Ciptaan atau barang yang merupakan hasil tindak pidana hak cipta atau hak terkait
serta alat-alat yang digunakan untuk melakukan
tindak pidana tersebut dirampas oleh negara untuk dimusnahkan.
11. Pasal
73 ayat (2) : Ciptaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bidang seni dan bersifat unik, dapat dipertimbangkan
untuk tidak dimusnahkan.
Jelasnya yang dimaksud dengan
“bersifat unik” adalah bersifat lain daripada yang lain, tidak ada persamaan
dengan yang lain, atau yang bersifat khusus. Ketentuan pidana tersebut di atas,
menunjukkan kepada pemegang hak cipta atau pemegang hak terkait lainnya untuk
memantau perkara pelanggaran hak cipta kepada Pengadilan Niaga dengan sanksi
perdata berupa ganti kerugian dan tidak menutup hak negara untuk menuntut
perkara tindak pidana hak cipta kepada Pengadilan Niaga dengan sanksi pidana
penjara bagi yang melanggar hak cipta tersebut. Ketentuan-ketentuan pidana
dalam UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta dimaksudkan untuk memberikan
ancaman pidana denda yang paling berat, paling banyak, sebagai salah satu upaya
menangkal pelanggaran hak cipta, serta untuk melindungi pemegang hak cipta.
·
Tinjauan Umum tentang Pengetahuan Tradisional
(Traditional Knowledge = TK)
Harmonisasi antaara pengetahuan
modern dan pengetahuan tradisional merupakan hal penting dalam pencapaian
pembangunan yang berkelanjutan, konsep yang mengedepankan bahwa kebutuhan untuk
pembangunan selaras dengan kebutuhan untuk pelestarian yang dapat berlangsung
tanpa membahayakan lingkungan sekitarnya. Sebagai konsekuensinya, TK telah
mendapat arti penting dan menjadi isu baru dalam perlindungan HAKI. Istilah TK
sebenarnya dapat diterjemahkan sebagai pengetahuan tradisional. TK merupakan
masalah hukum baru yang berkembang baik ditingkat nasional maupun
internasional. TK telah muncul menjadi masalah hukum baru disebabkan belum ada
instrumen hukum domestik yang mampu memberikan perlindungan hukum secara
optimal terhadap TK yang saat banyak dimanfaatkan oleh pihak yang tidak
bertanggung jawab. Di samping itu, di tingkat internasional TK ini belum
menjadi suatu kesepakatan internasional untuk memberikan perlindungan hukum.
Istilah TK adalah istilah umum yang mencakup ekspresi kreatif, informasi, know
how yang secara khusus mempunyai ciri-ciri sendiri dan dapat mengidentifikasi
unit sosial. TK mulai berkembang dari tahun ketahun seiring dengan pembaharuan
hukum dan kebijakan, seperti kebijakan pengembangan pertanian, keragaman hayati
(intellectual property).
WIPO menggunakan istilah TK untuk
menunjuk pada kesusasteraan berbasis tradisi, karya artistik atau ilmiah,
pertunjukan, invensi, penemuan ilmiah, desain, merek, nama dan simbol,
informasi yang tidak diungkapkan, dan semua inovasi dan kreasi berbasis tradisi
lainnya yang disebabkan oleh kegiatan intelektual dalam bidang-bidang industri,
ilmiah, kesusasteraan atau artistik. Gagasan ”berbasis tradisi” menunjuk pada
sistem pengetahuan, kreasi, inovasi dan ekspresi cultural yang umumnya telah
disampaikan dari generasi ke generasi, umumnya dianggap berkaitan dengan
masyarakat tertentu atau wilayahnya, umumnya telah dikembangkan secara non
sistematis, dan terus menerus sebagai respon pada lingkungan yang sedang
berubah.
K.
Perlindungan Hukum HAKI Dalam Kesenian Tradisional di Indonesia
ü
Pelindungan Preventif
Kebudayaan
(seni dan budaya) semakin disadari sebagai sebuah fenomena kehidupan manusia
yang paling progresif, baik dalam hal pertemuan dan pergerakan manusia secara
fisik ataupun ide/gagasan serta pengaruhnya dalam bidang ekonomi. Karenanya
banyak negara yang kini menjadikan kebudayaan (komersial atau non komersial)
sebagai bagian utama strategi pembangunannya. Selanjutnya, dalam jangka panjang
akan terbentuk sebuah sistem industri budaya. Dimana kebudayaan bertindak
sebagai faktor utama pembentukan pola hidup, sekaligus mewakili citra sebuah
komunitas. Di Indonesia, poros-poros seni dan budaya seperti Jakarta, Bandung,
Jogja, Denpasar (Bali) telah menyadari hal ini dan mulai membangun sistem
industri budayanya masing-masing. Meski dalam beberapa kasus, industri budaya
lebih merupakan ekspansi daripada pengenalan kebudayaan, tetapi dalam beberapa
pengalaman utama,industri budaya justru merangsang kehidupan masyarakat
pendukungnya. Industri budaya akan merangsang kesadaran masyarakat untuk
melihat kembali dirinya sebagai aktor penting kebudayaannya.
ü
Perlindungan Represif
Perlindungan represif hak kekayaan
intelektual terhadap kesenian tradisional di Indonesia terdapat juga dalam
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Pencipta atau ahli
warisnya atau pemegang hak cipta, dimana dalam hal kesenian tradisional hak
ciptanya dipegang oleh Negara, berhak mengajukan gugatan ganti rugi kepada
Pengadilan Niaga atas pelanggaran hak ciptanya dan meminta penyitaan terhadap
benda yang diumumkan atau hasil perbanyakan ciptaan itu. Pemegang hak cipta
juga berhak memohon kepada Pengadilan Niaga agar memerintahkan penyerahan
seluruh atau sebagian penghasilan yang diperoleh dari penyelenggaraan ceramah,
pertemuan ilmiah, pertunjukan atau pameran karya ciptaan atau barang yang
merupakan hasil pelanggaran hak cipta. Gugatan pencipta atau ahli warisnya yang
tanpa persetujuannya itu diatur dalam Pasal 55 UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak
Cipta, yang menyebutkan bahwa penyerahan hak cipta atas seluruh ciptaan kepada
pihak lain tidak mengurangi hak pencipta atau ahli warisnya untuk menggugat
yang tanpa persetujuannya:
·
Meniadakan nama pencipta pada ciptaan itu;
·
Mencantumkan nama pencipta pada ciptaannya;
·
Mengganti atau mengubah judul ciptaan; atau
·
Mengubah isi ciptaan.
Prospek hukum hak kekayaan
intelektual di Indonesia dalam rangka memberikan perlindungan hukum bagi
kesenian tradisional dari pembajakkan oleh negara lain adalah:
1.
Pembentukan perundang-undangan yang sesuai
dengan kebutuhan masyarakat lokal;
2.
Pelaksanaan dokumentasi sebagai sarana untuk defensive
protection dengan
melibatkan masyarakat atau LSM dalam proses efektifikasi
dokumentasi dengan dimotori Pemerintah Pusat dan Daerah;
3.
Menyiapkan mekanisme benefit sharing yang
tetap.
Sumber
:
Nurjanah.staff.gunadarma.ac.id
eprints.undip.ac.id/16220/1/AGNES_VIRA_ARDIAN.pdf
lontar.ui.ac.id/file?file=digital/135803-T%2027985…Metodologi.pdf
Komentar
Posting Komentar